Bisnis Budidaya Semut Jepang/ Kumbang Makkah Hukumnya Halal atau Haram?? Belakangan ini marak bisnis ternak Semut Jepang/ Kumbang Makkah seiring dengan meningkatnya permintaan di pasar terutama untuk pengobatan. Mengingat banyaknya Penelusuran yang terkait dengan Hukum Memakan Semut Jepang, hukum memakan semut jepang menurut islam, hukum makan semut jepang untuk obat, cara makan semut jepang,cara mengkonsumsi semut jepang, budidaya semut jepang, manfaat semut jepang, dan cara semut jepang obat diabetes. Maka Penulis memaparkan hukum Hukum Memakan Semut Jepang
Semut Jepang/ Kumbang Makkah (Bahasa orang malaysia) sebenarnnya adalah kumbang tenebrio. Orang Jawa menyebutnya mungkin agak mirik dengan nama "Bubuk Jawa/Kutu Beras". Memiliki ordo yang sama dengan kutu beras. Mungkin pertanyaan dari artikel ini lebih tepat dengan bagaimana hukum memakan kutu beras sehubungan hewan itu berdua merupakan jenis yang sama.
Tribolium destructor merupakan fase reproduksi dari siklus hidup metamorfosis. Awalnya, kumbang tenebrio molitor tidak banyak dilirik karena belum diketahui manfaatnya. Buktinya, hingga saat ini masih banyak dianggap sebagai limbah. Tenebrio molitor secara umum sebenarnya memiliki nilai gizi tinggi, yaitu protein sekitar 48%, disamping 40% energi.
Kumbang beras (atau lebih dikenal awam sebagai kutu beras) adalah nama umum bagi sekelompok serangga kecil anggota marga Tenebrio dan Tribolium (ordo Coleoptera) yang dikenal gemar menghuni biji-bijian/serealia yang disimpan. Kumbang beras adalah hama gudang yang sangat merugikan dan sulit dikendalikan bila telah menyerang dan tidak hanya menyerang gabah/beras tetapi juga bulir jagung, berbagai jenis gandum, jewawut, sorgum, serta biji kacang-kacangan. Larvanya bersarang di dalam bulir/biji, sedangkan imagonya memakan tepung yang ada.
Tenebrio molitor lebih dikenal sebagai ulat hongkong, yang larvanya biasa dijadikan pakan burung peliharaan. T. obscurus juga kerabat T. molitor yang menjadi hama gudang. Tribolium castaneum adalah serangga model yang biasa dipakai untuk penelitian-penelitian genetika sekaligus hama. Kerabatnya yang lebih gelap, Tribolium confusum, lebih umum dikenal dan luas tersebar. Tribolium destructor berwarna hitam kelam dan hanya dijumpai di Eropa, Amerika, dan Afrika.
Taksonomi dari Tenebrio molitor menurut Frost (1959) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Coleoptera
Famili : Tenebrionidae
Genus : Tenebrio
Spesies : Tenebrio molitor
Berdasarkan pengamatan kaidah fiqih dan pertimbangan ushul fiqih sebelum mencari dalil-dalil (nash) tentang halal haramnya Semut Jepang/ Kumbang Makkah maka kita perlu menegaskan sebagaimana yang dikemukakan oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram fil Islam (hal.22) bahwa hukum asal segala sesuatu adalah boleh (al-Ashlu fil asya’ al-ibahah) menurut beliau bahwa hukum asal segala sesuatu yang Allah ciptakan dan manfaatnya adalah halal dan boleh, kecuali apa yang ditentukan hukum keharamannya secara pasti oleh nash-nash yang shahih dan sharih (accurate texts and clear statements). Maka jika tidak ada nash seperti itu maka hukumnya kembali kepada asalnya yakni boleh. (istishab hukmil ashl). Prinsip inilah yang dipakai Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menentukan hukum segala sesuatu selain ibadah dan aqidah. (Qawa’id Nuraniyah Fiqhiyah, hal. 112-113)
Kaidah hukum itu berdasarkan ayat-ayat yang jelas (sharih), firman Allah: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit! Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS.Al-Baqarah:29) Demikian pula dalam surat Al-Jatsiyah:13 dan Luqman:20. Inilah bentuk rahmat Allah kepada umat manusia dengan berlakunya syariah yang memperluas wilayah halal dan mempersempit wilayah haram, seperti ditegaskan oleh Nabi saw: “Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya maka ia adalah halal (hukumnya) dan apa yang Dia haramkan maka (hukumnya) haram. Sedang apa yang Dia diamkan maka ia adalah suatu yang dimaafkan. Maka terimalah pemaafan-Nya, karena Allah tidak mungkin melupakan sesuatu.” (HR. Hakim dan Bazaar)
Bahkan Rasulullah melarang kita untuk mencari-cari alasan untuk mempersoalkan sesuatu yang Allah sengaja diamkan itu dengan sabdanya: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa hal fardhu maka jangan kamu abaikan, dan telah menggariskan beberapa batasan maka jangan kamu langgar dan telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kamu terjang serta telah mendiamkan beberapa hal sebagai rahmat bagi kamu tanpa unsur kelupaan maka jangan kamu permasalahkan.”(HR. Dar Quthni)
Ketika Nabi saw ditanya tentang hukum keju, mentega, dan keledai liar, beliau enggan menjawab satu persatu masalah parsial ini melainkan beliau alihkan kepada kaidah dasar hukum agar mereka dapat cerdas menyimpulkan segala persoalan dengan sabdanya: “Sesuatu yang halal itu adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya dan sesuatu yang haram itu adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, dan apa yang Allah diamkan (tidak sebutkan) berarti termasuk apa yang dimaafkan (dibolehkan/dihalalkan) untuk kamu.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Bila kita semua menelusuri berbagai macam kitab-kitab fiqih dalam masalah makanan, kita akan metemukan suatu kesimpulan bahwa hukum asal makanan adalah halal dan tidak dapat diharamkan kecuali berdasarkan dalil khas yang spesifik. Ingat berdasarkan dalil khas yang spesifik. (Mausu’ah Fiqhiyah, Kuwait, vol V hal. 123)
Allah telah menjelaskan secara jelas dan tuntas semua yang halal maupun yang haram. Dari sini para ulama menyimpulkan kaidah bahwa prinsip dasar makanan adalah halal kecuali bila terdapat larangan dari nash (Al-Qur’an dan Sunnah). lihat (QS. Al-A’raf: 157, An-Nisa’:29, Al-Maidah:4, Al-An’am: 119, 145). Di antara faktor-faktor dan unsur-unsur kandungan yang dapat mengharamkan makanan di antaranya:
1. Dipastikan dapat menimbulkan bahaya(dharar) bagi tubuh manusia. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah:195). Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa yang mereguk racun lalu membunuh dirinya sendiri, maka racunnya akan tetap berada di tangannya seraya ia mereguknya di neraka Jahanam selama-lamanya.” (HR. Bukhari) dan sabdanya: “Tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang membahayakan (dharar) diri sendiri dan orang lain (dhirar).” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad.)
2. Menghilangkan ingatan, Memabukkan, melalaikan. Seperti segala jenis obat-obatan terlarang, candu, narkotika, minuman keras dan zat adiktif lainnya. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah:90). Rasulullah saw bersabda: “segala sesuatu jika banyaknya memabukkan, maka yang sedikitnya pun haram.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad).
3. Najis dan makanan/ hewan terkontaminasi najis. Contoh: babi, darah, anjing, bangkai (selain ikan dan belalang). (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Kuwait, vol. V/125). Allah berfirman: “Katakanlah:”Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena semua itu najis atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (QS. Al-An’am: 145).
Apabila kita dapati Nabi saw melarang beberapa jenis makanan atau binatang di luar konteks yang dinashkan oleh al-Qur’an maka ulama fiqih dan ushul seperti Imam Asy-Syaukani mengkategorikan larangan Nabi tersebut sebagai larangan makruh bukan haram. Atau bila terdapat kesesuaian ‘illat (sebab) hukum pengharaman dalam al-Qur’an seperti najis atau indikasi najis, rijs atau fisq yang semuanya digolongkan khabaits kebalikan halal yang identik dengan thoyyibat secara umum. Maka hal itu termasuk kategori qiyas (analogi) terhadap larangan al-Qur’an.
As-Syaukani melihat tidak ada relevansinya pengharaman binatang yang diperintahkan oleh Nabi untuk dibunuh maupun yang dilarang Nabi untuk dibunuh merupakan konsekuensi logis dan kultural untuk menjadi dalil pengharaman untuk memakannya maka hal itu TIDAK DAPAT dijadikan dasar pengharaman. Seperti hadist riwayat Ibnu Abbas Rasulullah s.a.w. melarang membunuh empat jenis hewan melata, yaitu semut, lebah, burung hud-hud dan burung sejenis jalak. (h.r. Abu Dawud sahih sesuai syarat sahihain). Khatabi dan Baghawi menegaskan bahwa semut di sini bukan semua jenis semut, tapi semut Sulaimaniyah, yaitu semut besar yang tidak membahayakan dan tidak menyerang manusia. Adapun semut-semut kecil yang kadang termasuk wabah dan mengganggu serta menyerang manusia, maka boleh dibunuh. Imam Malik mengatakan makruh hukumnya membunuh semut yang tidak membahayakan. Namun meskipun boleh membunuh semut, tapi sebaiknya mebunuh semut dengan cara tidak membakarnya, karena ada hadist yang menegaskan bahwa yang berhak menyiksa dengan api adalah Tuhan api. (h.r. Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud).
Namun bila binatang yang diperintahkan Nabi untuk membunuhnya maupun yang dilarang untuk membunuhnya termasuk kategori khabaits (najis) maka pengharamannya berdasarkan ayat di atas, jika tidak mengandung unsur khabaits yang manshus (ditegaskan oleh nash ayat) maka hukumnya kembali kepada hukum asal yakni halal berdasarkan dalil dan kaidah umum. (Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, V/14)
Adapun hukum Semut Jepang/ Kumbang Makkah menurut uraian kaidah hukum di atas adalah kembali kepada hukum asal makanan yakni halal, karena tidak ada nash tegas maupun qiyas yang relevan untuk mengharamkannya ataupun memasukkannya dalam kategori khabaits (najis) hanya berdasarkan perasaan geli dan jijik yang nisbi (relatif) itu tidak dapat dijadikan hukum. Karena juga relatif jijik atau tidak pada masing-masing orang. Hukum itu dibangun di atas dasar kepastian dan universalitas. Sebagian ulama mengatakan bahwa boleh mengkonsumsi Semut Jepang/ Kumbang Makkah dan semua serangga selama aman dari racun (secara medis maupun pengalaman empirik) ataupun bakteri yang membahayakan kesehatan. Apalagi sampai kini secara empirik dan medis belum ditemukan indikasi yang membahayakan dan kita tidak dituntut oleh Allah untuk mengetahui sesuatu di luar kemampuan kita sehingga kita terhalang dari memanfaatkan apa yang Allah ciptakan untuk kita. (Ad-Dardir, Asy-Syarhul Kabir, vol. II/115, Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, V/510, Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, II/10)
Imam Al-Qurthubi menegaskan dalam menafsirkan ayat tersebut: “Menurut mazhab imam Malik bahwa yang dimaksud dengan ath-thayyibat adalah al-muhallalat; yang seolah-olah Allah menyifati apa yang dihalalkan-Nya dengan thayyib, karena lafazh ini mengandung makna pujian dan sanjungan. Dengan logika ini kita katakan bahwa yang dimaksud dengan al-khabaits adalah al-muharramat (apa yang diharamkan Allah), karenanya Ibnu ‘Abbas mengatakan: al-khabaits adalah daging babi, riba dan lain sebagainya.”
Lebih tegas dan secara khusus ulama tafsir (mufassirun) seperti Imam As-Suyuthi dalam tafsir Al-Jalalain ketika menafsirkan kata (khabaits) dalam surat Al-Al-A’raf’:157 mengatakan khabits itu adalah seperti bangkai dan sebagainya (segala yang diharamkan Allah secara eksplisit/terang dalam al-Qur’an). Sedangkan Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas (Wa yuhillu lahum ath-thayyibat wa yuharrimu ‘alaihim al-khabaits) mengatakan: “Maknanya adalah menghalalkan bagi mereka apa yang mereka telah haramkan sebelumnya atas diri mereka bahiirah (unta yang telah beranak lima kali dan anak kelimanya jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan dan tidak boleh ditunggangi lagi serta tidak boleh diambil susunya) saaibah (unta betina yang dibiarkan pergi ke mana saja lantaran suatu nazar) washiilah ( seekor domba betina melahirkan anak kembar yang terdiri dari jantan dan betina, maka yang jantan ini disebut washilah, tidak disembelih dan diserahkan kepada berhala) dan haam (unta jantan yang tidak diganggu gugat lagi karena telah dapat membuntingkan unta betina sepuluh kali; QS. Al-Maidah:103) dan mengharamkan atas mereka al-khabaits. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dimana beliau menafsirkannya: yaitu seperti daging babi, riba dan apa yang mereka halalkan dari makanan yang Allah ta’ala haramkan. Sebagian ulama mengatakan: Setiap makanan yang Allah halalkan (dalam kitab-Nya) ia adalah thayyib (baik) dan bermanfaat bagi tubuh dan agama, sedangkan apa yang diharamkan-Nya maka ia adalah khabits dan berbahaya bagi tubuh dan agama.” (Tafsir Ibnu Katsir, II/244)
Apalagi agrobisnis Semut Jepang/ Kumbang Makkah itu untuk pengobatan maka hukumnya lebih ringan lagi. Meskipun kita telah mendudukkan hukum asalnya yakni halal. (Berdasarkan pada kaidah halal-haram makanan dan minuman dalam al-Qur’an: QS. Al-Baqarah:173, Al-Maidah:3-5, 87, 145, Al-A’raf:32, Al-An’am:119, Yunus:59, An-Nahl:35, 115, 116, Al-Isra’:70, Al-Hajj:3, At-Tahrim:1) Adapun mengenai media hidupnya yang sebagian dari barang halal yaitu kapas dan makanannya yang hanya ragi tape. Yang dimakruhkan ulama (yakni binatang yang sebagian besar media hidupnya barang-barang najis. Dan menurut ulama kotoran binatang yang dimakan dagingnya seperti unta, sapi tidak najis, di samping itu bukan makanan pokok satu-satunya. Itupun masih diperselisihkan ulama dan paling berat mereka menghukuminya makruh tidak sampai haram. (Al-Mathalib, VI/309, Az-Zuhaili, II/513) Demikian pula bisnis dalam hal ini hukum prinsipnya juga halal termasuk mengkonsumsinya untuk obat-obatan. Selama tidak diketemukan unsur-unsur lain yang mengharamkannya. Semoga Allah memberkati usaha saudara dan dapat bermanfaat bagi umat manusia. Wallahu A’lam. Wabillahit Taufiq wal Hidayah. []
Referensi:
Hukum Jangkrik dan Belalang http://halalmui.org/images/stories/Fatwa/cacing%20dan%20jangkrik.pdf
Bisnis Budidaya Cacing dan Jangkrik serta Mengkonsumsinya, Bolehkah? Dr. Setiawan Budi Utomo http://m.dakwatuna.com/2009/08/19/3493/bisnis-budidaya-cacing-dan-jangkrik-serta-mengkonsumsinya-bolehkah/
Hukum Memakan Semut yang Tercampur di Makanan http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1099:hukum-memakan-semut-yang-tercampur-di-makanan&catid=1:tanya-jawab
Cokelat Kumbang, Jajanan Bernilai Gizi Tinggi http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/dunia-kampus/14/08/28/nb0dk5-cokelat-kumbang-jajanan-bernilai-gizi-tinggi?
Ulat dalam beras dan kutu beras: Bagaimanakah pembiakannya http://halaqah.net/v10/index.php?topic=12860.0
http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpambon/berita-309-tenebrio-molitor-hama-pascapanen-yang-bermanfaat.html